Lahir, Bandar Lampung, Sekolah dan nyantri di Pesantren, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Sekarang Aktif Berkaligrafi dan menulis Puisi.

Gaza: Relasi Konflik dan Kekuasaan

Kamis, 27 Maret 2025 19:31 WIB
Bagikan Artikel Ini
img-content
Gaza
Iklan

Kota Yerusalem, masjid al–Aqsa. Awal Islam, Masjid al-Aqsa menjadi kiblat umat Muslim dan bagi orang-orang Yahudi pun berkiblat ke sana.

 Komunitas internasional harus akui kehancuran Jalur Gaza -

Pertarungan Tafsir atas Yerusalem: Kompleksitas Konflik Israel-Palestina.

Yerusalem adalah episentrum konflik yang melampaui sekadar persoalan geografis. Ia adalah ruang di mana sejarah, agama, identitas, dan kekuasaan bertubrukan dalam pertarungan interpretasi yang rumit dan mendalam. Setiap batu, setiap lorong, setiap tanah di kota suci ini memiliki narasi yang saling bertentangan antara Israel dan Palestina.

Yerusalem, atau juga dikenal dengan Al-Quds atau Alkudsi merupakan salah satu kota tertua di dunia, terletak di sebuah dataran tinggi di Pegunungan Yudea antara Laut Tengah dan Laut Mati.

Status kepemilikan Yerusalem merupakan inti perselisihan yang tak kunjung usai. Israel mengklaim kota ini sebagai ibukota abadi negara mereka, sementara Palestina menuntut bagian timur Yerusalem sebagai ibukota negara yang dicita-citakan. Persoalan ini tidak sekadar tentang kedaulatan wilayah, melainkan pertarungan identitas dan eksistensi.

Pemukiman Israel di wilayah Tepi Barat dan sekitar Yerusalem adalah praktik kolonisasi modern yang sistematis. Setiap pemukiman baru adalah perluasan pendudukan, merampas tanah-tanah Palestinian, memutus kontiguitas wilayah, dan menciptakan realitas geografis baru yang secara de facto mengubah peta Politik. Pemukiman ini tidak hanya masalah territorial, tetapi juga strategi untuk mendefinisikan ulang ruang dan identitas.

Persoalan perbatasan menjadi kompleks karena tidak sekadar garis imajiner, melainkan medan pertarungan eksistensi. Pembatasan gerak yang diberlakukan Israel membuat wilayah Palestina terbelah, terputus, dan terkontrol. Pos pemeriksaan, tembok pemisah, dan zona militer menciptakan labirin opresif yang membatasi kebebasan bergerak warga Palestina.

Konflik atas sumber daya air menjadi dimensi krusial yang jarang dibicarakan. Israel menguasai mayoritas sumber air di wilayah tersebut, membatasi akses Palestina. Ketidaksetaraan akses air bukan sekadar persoalan ekonomi, tetapi bentuk kontrol sistematis yang mempengaruhi kehidupan dan kelangsungan masyarakat Palestina.

Hak kembali pengungsi Palestina adalah luka sejarah yang tak kunjung sembuh. Jutaan Palestinian yang terusir dari tanah leluhur mereka sejak 1948 menuntut haknya untuk kembali. Israel menolak tuntutan ini, yang dianggap akan mengubah komposisi demografis dan eksistensi negara Yahudi.

Yerusalem dengan demikian adalah metafora konflik yang lebih besar. Ia adalah ruang di mana pertarungan narasi, memori kolektif, dan proyeksi kekuasaan berlangsung. Setiap interpretasi atas kota ini membawa beban sejarah, luka kolektif, dan hasrat untuk eksis.

Dalam setiap batu, dalam setiap sudut Yerusalem, tersimpan pertanyaan fundamental: Siapa yang berhak atas tanah? Apa makna kedaulatan? Bagaimana keadilan dapat dicapai dalam konteks sejarah yang begitu kompleks? Pertanyaan-pertanyaan ini terus menunggu jawaban, sementara konflik berputar dalam lingkaran kekerasan yang tampaknya tak berujung.

 

Konflik, Sumberdaya, Dan, Relasi Kekuasaan. 

Yerusalem menjadi lokasi dari masjid al–Aqsa. Dimana masa awal Islam, Masjid al-Aqsa menjadi kiblat umat Muslim dan bagi orang-orang Yahudi pun berkiblat ke sana.20 Okt 2023

Konflik di Gaza adalah potret kompleks dari relasi kekuasaan yang berlapis, di mana sejarah, geopolitik, dan kepentingan strategis saling bersilang dan mempertahankan struktur dominasi yang berkepanjangan. Wilayah seluas 365 kilometer persegi ini telah menjadi panggung dramatis pertarungan kekuasaan yang melampaui batas-batas sederhana antara dua kelompok etnis atau agama.

Konstruksi kekuasaan di Gaza tidak dapat dilepaskan dari warisan kolonialisme dan pembagian wilayah pasca Perang Dunia II. Israel, dengan dukungan kekuatan global, telah membangun sistem kontrol yang melampaui sekadar pendudukan militer. Blokade, pembatasan gerak, kontrol sumber daya, dan intervensi sistematis telah menciptakan ekosistem kekuasaan yang membuat warga Gaza terjebak dalam lingkaran ketidakberdayaan.

Mekanisme kontrol tidak sekadar fisik, melainkan juga psikologis dan struktural. Pembatasan akses pendidikan, kesehatan, dan ekonomi secara efektif telah merampas masa depan generasi muda Palestina. Setiap serangan militer bukan sekadar pertempuran bersenjata, melainkan praktik deterritorialisasi yang secara sistematis mendekonstruksi kemungkinan berdirinya sebuah negara merdeka.

Peran aktor internasional dalam relasi kekuasaan ini sangat signifikan. Dukungan diplomatik, persenjataan, dan bantuan ekonomi dari negara-negara adidaya tidak sekadar memengaruhi keseimbangan konflik, tetapi secara aktif mendefinisikan arsitektur kekuasaan. Resolusi PBB yang tak berkekuatan hukum, sanksi yang lemah, dan sikap diplomatik yang pragmatis telah mengabadikan status quo.

Hamas, di sisi lain, bermain dalam ruang kekuasaan yang dibentuk oleh keterbatasan. Sebagai gerakan perlawanan yang juga berkuasa, mereka menggunakan strategi gerilya, retorika ideologis, dan dukungan akar rumput sebagai instrumen melawan hegemonii Israel. Namun, dalam praktiknya, mereka pun terjebak dalam logika kekerasan yang sama yang ingin mereka lawan.

Konflik Gaza adalah miniatur dari relasi kekuasaan global di mana yang lemah terus disubordinasi, di mana kemanusiaan dikorbankan demi kepentingan strategis, dan di mana keadilan hanya menjadi retorika kosong. Setiap bom yang jatuh, setiap nyawa yang hilang, setiap rumah yang roboh adalah ekspresi dari pertarungan kekuasaan yang tak kunjung usai.

Pada akhirnya, Gaza mempertanyakan fondasi etika hubungan internasional: Apakah kekuasaan selalu identik dengan kebenaran? Apakah kedaulatan nasional boleh mengabaikan martabat kemanusiaan? Pertanyaan-pertanyaan ini menunggu jawaban, sementara warga Gaza terus hidup dalam bayang-bayang ketidakpastian.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Bagikan Artikel Ini
img-content
AW. Al-faiz

Penulis Indonesiana

5 Pengikut

img-content

Gigi

Sabtu, 26 April 2025 07:43 WIB
img-content

Surat

Kamis, 24 April 2025 20:12 WIB

Baca Juga











Artikel Terpopuler

Artikel Terbaru

img-content
img-content
img-content
Lihat semua

Terkini di Analisis

img-content
img-content
img-content
Lihat semua

Terpopuler di Analisis

Lihat semua